Syair: Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy

Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy - Hallo sahabat puisi,pengertian dari syair dan contoh ragam syair,pengertian syair dan pantun pengertian puisi syair serta pengertian dan contoh syair Wisata, Puisi, baca lagi di Pengertian syair Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel cerpen, Artikel romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy
link : Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy

Baca juga: sapiens, Pengertian syair


Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy




Aku, Kamu, dan Hujan

Karya: Momoy

Bulan Oktober telah tiba. Itu artinya musim hujan pun datang. Musim hujan berarti musim dingin. Dan musim dingin adalah saat pertemuanku dengannya setahun yang lalu.

Di balik jendela kaca kamar, kupandangi hujan yang mengalir deras bercampur sang angin dan kilatan halilintar. Seketika itu juga, teringatlah sebuah nama yang pernah terukir di jendela yang berembun. I Love U, Marsya.
Tidak. Seharusnya aku menulisnya pada sebuah batu. Dengan begitu, mungkin ia tidak akan hilang termakan waktu, pikirku.
Kupejamkan mata, kemudian mulai menerawang masa lalu.
Tampak seorang gadis berlarian di tengah hujan. Kedua matanya sibuk mencari-cari tempat teduh agar terhindar dari hujan. Di sudut pertokoan, aku berdiri menyedekapkan tangan, berusaha memeluk diri. Gadis itu kini ada di sampingku. Sesekali tubuhnya bergetar menahan dingin. Ditatapnya hujan lebat sore itu.
Yaah. Kapan berhentinya hujan ini,” gumam sang gadis.
Mungkin akan lama berhentinya, Mbak. Soalnya ini hujan pertama di bulan ini,” cetusku tiba-tiba.
Eh, benar juga, Mas. Ini hujan pertama di bulan ini. Pantas aja gede hujannya,” balas si gadis sembari tertawa kecil.
Kenalkan, aku Yosi.” Kuulurkan tangan.
Dengan perlahan, disambutnya tanganku. “Aku Marsya.”
Dapat kurasakan tangannya yang dingin. Bahkan, tampak begitu pucat.
Tak lama kemudian, kami melepaskan jabatan tangan kami. Marsya tersenyum ramah.
Begitulah awal kedekatanku dengan Marsya setahun silam. Setelah beberapa bulan mengenalnya, aku tahu mengapa pada saat itu telapak tangannya begitu dingin dan pucat. Gadis yang malang. Ia ternyata sakit-sakitan. Begitu pilu hatiku ketika mengetahui hal itu.
Yosi. Apa kamu masih ingat bagaimana kita bisa dekat sampai sekarang ini?” tanya Marsya, berusaha menggali ingatanku.
Tentu saja aku masih ingat semuanya. Musim hujan, tepatnya di bulan Oktober,” jawabku mantap.
Aku masih sangat ingat bagaimana hangatnya tanganmu waktu itu. Tidak seperti tanganku yang sangat dingin, pucat, dan mengerut. Sebenarnya aku malu padamu.”
Untuk apa malu denganku? Aku pernah bertanya-tanya waktu itu, kenapa tanganmu begitu dingin. Tetapi, setelah mengetahui penyebabnya, aku ... tak bisa melakukan apa-apa. Aku berharap untuk tidak mengetahui hal itu, Marsya.”
Tidak. Aku tidak butuh belas kasihan dari siapa pun. Bagiku, sudah cukup jika kamu bisa menghangatkanku yang merasa dingin.” Marsya menghela napas. “Aku punya satu keinginan, Yos. Aku ingin mewujudkan keinginan itu. Tetapi, dengan keadaanku yang seperti ini, aku sadar tidak pernah mampu untuk itu.”
Apa itu? Apa keinginanmu, Marsya?”
Aku ingin bermain dengan hujan. Aku ingin merasakan derasnya hujan,” jawab gadis manis itu seraya tersenyum pasrah.
Ingatlah dengan keadaanmu, Marsya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu, karena aku sangat mencintaimu.”
Besok aku akan pergi ke luar negeri. Kata ayahku, mungkin aku bisa menemukan dokter yang bisa menyembuhkan penyakitku. Jika aku bisa sembuh, aku pasti akan kembali lagi dan bermain hujan denganmu. Tetapi, jika aku tidak dapat sembuh dari penyakit ini, aku minta agar kamu yang menjadi hujan itu untukku.”
Tidak bisa, Marsya. Aku tidak ingin menjadi hujan yang bisa membuatmu menggigil karena dingin. Aku lebih baik menjadi payung untukmu, agar aku bisa melindungimu dari deras dan dinginnya hujan.”
Yosi,” ucap Marsya selembut mungkin. “Aku suka hujan. Aku ingin merasakan bagaimana hujan membasahi tubuhku. Aku sangat ingin merasakan dingin hujan tanpa sakit setelahnya. Dan aku ingin kamu bisa menjadi hujan itu untukku,” jelas Marsya sembari menatap kedua mataku yang hampir berkaca-kaca.
Akhirnya, saat-saat sulit itu tiba. Marsya pergi ke luar negeri guna menyembuhkan penyakit Raynaudyang diidapnya. Dia pernah bilang jika ia tak dapat sembuh dari penyakit itu, maka setiap organ penting di dalam tubuhnya akan terkena dampak, sampai akhirnya bisa menyebabkan kematian.
Berpikir ia tak ada di dunia ini benar-benar membuat dadaku sesak. Setiap malam aku selalu berdoa pada Tuhan, meminta dengan sangat agar kekasihku, Marsya dapat sembuh dari penyakitnya. Dengan begitu, ia bisa mewujudkan keinginannya. Ia bisa bermain hujan sepuasnya tanpa harus jatuh sakit setelah itu.
Akan tetapi, musim hujan ini telah tiba, ia tak kunjung kembali. Padahal, jika ia tak dapat disembuhkan, aku akan dengan rela menjadi hujan untuknya. Aku akan dengan rela menjadi hujan yang menyejukkan dirinya. Meski kutahu setiap hujan mungkin tidak ada yang baik untuk kesehatan, aku akan coba menjadi hujan yang dapat menyelamatkan dirinya dari kerinduan.
Hujan semakin deras mengguyur jagat raya. Meski di dalam rumah, tetapi dingin ini begitu menusuk. Langit sore semakin gelap, sudah tak ada celah bagi mentari untuk bersinar.
Pikiran tentang sang kekasih juga tak hentinya menghantui. Aku tidak bermaksud menyalahkan Tuhan yang telah mempertemukanku dengan Marsya. Aku tidak bermaksud menyalahkan Tuhan yang telah memberikan penyakit kepada Marsya. Aku sungguh tidak pantas mengutarakan keluhanku kepada Tuhan.
Aku akan bersyukur kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami. Aku dan Marsya di kala hujan sore itu. Aku ingin tersenyum ketika membayangkan bagaimana takdir mengikat dan mempertemukan kami. Namun, justru senyum ini masih tertahan dengan pikiran-pikiran negatifku.
Aku ingin menangis. Akan tetapi, dapatkah menangis menyelesaikan masalahku? Tentu saja tidak. Meski begitu, aku tetap melangkah dan berdiri di tengah guyuran sang hujan.
Di sela-selakesedihan, kedua pipiku merasa menyentuhsesuatu. Hangat. Ketika kutolehkan pandangan, seorang gadis tersenyum manis padaku. Marsya!
Aku bergeming dengan perasaan tak menentu. Tak lama kemudian senyum yang telah tertahan beberapa waktu lalu akhirnya menampakkan diri. Tepat di depan kedua mata bulat kekasihku.
Hai, Kekasihku!” sapa Marsya, masih dengan senyum simpulnya.
Mar ... sya ....”
Iya. Ini aku Marsya. Aku kembali untuk menepati janji. Terima kasih sudah menepati janjimu, Yosi.”
Sejak kapan—”
Aku baru sampai di sini. Dan aku ingin mewujudkan keinginanku, yaitu merasakan dinginnya hujan.” Digapainya lagi kedua pipiku. “Hangat?” lanjutnya.
Hangat. Apakah itu artinya—”
Benar. Aku sudah sembuh sekarang. Terima kasih sudah setia menungguku sampai sekarang.”
Aku menangis haru atas kesembuhan sang kekasih.
Pasti sangat sulit, ya. Tapi, aku sudah di sini. Aku kembali dan akan selamanya bersama kamu. Kita bisa bermandikan hujan kapan pun kita mau. Kita bisa merasakan dinginnya hujan kapan saja. Dan aku sudah tidak butuh payung lagi.”
Kemudian, kupeluk sang kekasih dengan erat di tengah guyuran hujan sore itu. Kulepaskan setiap debaran rinduku yang hanya untuknya. Setiap rasa takut yang beberapa waktu lalu mencoba menikam, telah pergi tak tersisa. Hangat tubuh Marsya menenangkan jiwa.
Apakah kamu bahagia?” tanya Marsya, masih dalam pelukku.
Iya. Aku ... sangat bahagia. Terima kasih sudah menepati janjimu padaku, Marsya.”
Apakah aku datang tepat waktu?”
Iya, kamu datang tepat waktu.”
Apakah kamu masih ingat ... tepat di bulan ini?”
Iya, Marsya. Aku masih sangat ingat di bulan ini. Bulan Oktober, basah, dingin, yang penuh dengan kenangan kita.”
Aku juga sangat, sangat, sangat bahagia.”
Hujan reda. Awan hitam perlahan-lahan pergi. Mentari bersinar. Dan pelangi tercipta indah.
Lihat, ada pelangi,” ujarku sembari melepas dekapanku pada Marsya.
Indah, ya.”
Marsya menghela napas begitu dalam, mencoba menciumi aroma khas tanah sehabis hujan.
Begitulah bagaimana hujan menjadikan kami begitu dekat dan saling mencintai. Semuanya memang karena kuasa Tuhan, tetapi dengan perantara hujan.
Entah akan sampai kapan kebersamaan kami akanberlangsung. Meski begitu, kami pasti akan terus melangkahkan kaki menuju jalan ke masa depan. Hujan-hujan yang lain sedang menanti, tetapi dingin dan basah bukan sebuah penghalang untuk terus maju.

Bahkan tanpa payung pun kami akan melawan dinginnya hujan itu. Setelah hujan reda, pelangi indah akan menampakkan diri di kedua mata, sampai kami sadar dan berkata, “Oh. Ternyata hujan telah reda. Ternyata kami sudah berhasil melawan derasnya hujan. Dan selamat dari dinginnya yang menusuk.”


Tentang Penulis

Imron Rosyadi yang bernama pena Momoy adalah seorang penulis sekaligus pemimpin redaksi di sebuah penerbit. Penulis yang terkenal dengan karya bukunya berjudul Paradoks Waktu ini mulai menulis di usia 15 tahun. Sampai saat ini, penulis sudah melahirkan 3 buku cetak dan beberapa ebook. Menulis karya dalam berbagai genre, termasuk fantasi dan horor, dan terutama romansa.
Kritik dan saran ke penulis melalui akun media sosial:
Ig: @momoy_official_


Demikianlah Artikel Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy

Sekianlah artikel Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Cerpen Romantis Aku, Kamu, dan Hujan Karya Momoy dengan alamat link Sapiens
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
cerpen,romance