Judul : Toxic Parents Vs Anak Durhaka
link : Toxic Parents Vs Anak Durhaka
Toxic Parents Vs Anak Durhaka
Pict by Mark via Nohat
Orang Tua yang Toxic atau Anak yang Durhaka?
Media sosial beberapa waktu terakhir ini tengah ramai membahas hubungan orang tua dan anak, terutama di Indonesia, banyak yang tidak harmonis. Dimulai dari cuitan seorang warga net yang menganggap memberikan sebagian besar gaji kepada orang tua sebagai bentuk balas budi menjadikan anak tertekan dan tidak bisa berkembang.
Pendapat tersebut menuai kontroversi. Warga met ramai berkomentar dengan pendapatnya sendiri. Banyak yang membenarkan, tapi tak sedikit pula yang kontra dengan argumen bahwa bentuk balas budi dengan pemberian gaji kepada orang tua adalah suatu kewajiban sebab setiap anak telah dilahirkan, dijaga dan dirawat hingga tumbuh dewasa. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak selalu seperti itu. Banyak kehidupan keluarga yang tidak harmonis, dijalani oleh orang-orang di masa sekarang. Kekerasan, kurangnya perhatian, kesulitan mengontrol emosi, hingga tuntutan berbakti tanpa pemenuhan hak menciptakan pribadi anak yang keras dan menganggap orang tua adalah musuh dalam pertumbuhannya.
Sebenarnya siapa yang salah dan benar dalam kasus ini?
Siapa Salah Siapa Benar?
Sebelum memutuskan perkara benar salah terkait hal ini. Alangkah baiknya kita melihat akar masalah dari Toxic Parenting dan julukan 'Anak Durhaka' terlebih dahulu.
Hubungan antara orang tua dan anak sangatlah signifikan dan krusial dalam kehidupan. Bagaimana pola parenting yang diterapkan membawa pengaruh besar dalam tatanan hidup generasi berikutnya.
Contoh sederhananya, di negara kita sendiri, dari masa ke masa penerapan pola asuh jaman dahulu yang cenderung ‘tidak sehat’ menjadi lingkaran setan yang turun temurun di terapkan. Misalnya, setiap anak dituntut menuruti apa perkataan orang tuanya. Ketika sang anak melakukan suatu tindakan yang dianggap tidak benar, Ibu atau Ayah cenderung mengatakan jangan daripada memberikan alasan yang logis. Pun dalam mengambil keputusan, masih banyak keluarga yang belum menerapkan diskusi terbuka untuk pengambilan keputusan besar yang menyangkut anak dan orang tua, tapi mengambil keputusan berdasarkan kehendak orang tua.
Hal sedemikian lah yang menjadikan anak kemudian merasa tidak diberi hak untuk bersuara, tidak berani mengungkapkan pikirannya, hingga timbul pikiran bahwa pola asuh yang mereka dapatkan adalah toxic parenting.
Sebenarnya seperti ini, setiap orang tua memiliki cara asuh yang berbeda. Termasuk orang tua kita terdahulu, mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada kemungkinan mereka tumbuh dengan pola asuh yang tidak sempurna, kemudian menyebabkan rasa sakit hingga trauma sampai dewasa. Akibatnya, dari rasa sakit yang tidak terobati itu, dalam kehidupan keluarganya pun orang tua acap kali kesulitan mengendalikan emosi dan pikiran. Tidak tahu cara mendengar, melihat kesalahannya, dan meminta maaf.
Tidak dapat elak, toxic parenting itu ada. Sering kali terjadi di sekitar kita atau bahkan kita alami. Akan tetapi, orang tua bisa jadi tidak paham bahwa mereka telah menerapkan pola asuh yang kurang tepat.
Hingga ketika menjadi individu dewasa, anggapan untuk berbakti, membalas jasa kedua orang tua dianggap sebagai sesuatu yang tidak mesti dilakukan. Karena memang semasa hidupnya, orang tua selalu menuntut kewajiban tanpa pernah memenuhi hak anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, timbulnya kekesalan, rasa sakit, dan trauma pada anak pun benar adanya. Akibat dari pola asuh yang tidak sehat, rasa sakit, marah, dan trauma yang kita alami itu lumrah. Untuk tumbuh dengan semua rasa itu juga wajar.
Bagaimana Solusinya?
Tak ada cara yang benar-benar pas untuk mengatasi masalah tersebut.
Hubungan harmonis antara orang tua dan anak memang menjadi harapan setiap orang. Pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab anak kepada orang tua di masa tua sebagai bentuk penghargaan atas semua hak yang pernah dipenuhi tampak begitu manis dan berharga. Meski kenyataannya tak selalu seperti itu
Kita sebagai individu berhak untuk tumbuh dengan rasa sakit hati dan benci terhadap bagaimana perlakuan tidak mengenakkan dari orang tua, atau memaafkan dan memutuskan untuk berbakti. Anggapan ‘anak durhaka’ tidak serta merta tepat dan perlu didengar. Karena pada dasarnya, setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Satu masalah hidup yang dialami orang lain, bukan berarti dapat digeneralisasikan untuk persoalan pelik terkait orang tua dan anak.
Kita hanya perlu tumbuh dewasa dengan mempertimbangkan hal-hal yang benar-benar kita butuhkan. Baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk orang tua. Lalu belajar dari pengalaman untuk memutus rantai lingkaran setan.
Dan sampai di sini, kita dapat menyimpulkan bahwa keduanya adalah benar tergantung dari sudut mana kita menilai. Anak harus berbakti dan membalas budi atas jasa orang tua adalah benar adanya. Akan tetapi, anak yang memutuskan untuk tidak melakukan hal tersebut tidak dapat disalahkan dengan memberi cap ‘durhaka’ dan sebagainya, karena kejadian yang mereka alami hanya secuil yang kita lihat.
Tumbuhlah dengan cara kita sendiri. Sebab setiap orang punya cerita, fase, dan kekuatannya masing-masing.
Demikianlah Artikel Toxic Parents Vs Anak Durhaka
Sekianlah artikel Toxic Parents Vs Anak Durhaka kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Toxic Parents Vs Anak Durhaka dengan alamat link Sapiens