Syair: Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy

Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy - Hallo sahabat puisi,pengertian dari syair dan contoh ragam syair,pengertian syair dan pantun pengertian puisi syair serta pengertian dan contoh syair Wisata, Puisi, baca lagi di Pengertian syair Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel cerpen, Artikel sastra, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy
link : Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy

Baca juga: sapiens, Pengertian syair


Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy


BERTEMU PUTRI NYALE

 

            Mungkin sudah jadi nasib permanenku yang menjomlo. Sejak zaman SMA, aku tidak pernah merasakan yang namanya berpacaran. Tidak dimungkiri kalau sebenarnya aku ingin seperti teman-temanku yang lain. Tiap malam minggu jalan-jalan ke mana pun, tiap pagi hari dibangunkan—berfungsi sebagai alarm, atau tiap mau makan juga diingatkan. Sayangnya, aku tidak punya kenalan cewek yang bisa kuajak pendekatan.

            Aku adalah Zahroni, putra kelahiran Lombok, tepatnya di daerah Lombok Tengah. Aku saat ini sedang menduduki bangku kuliah di Mataram semester dua dengan jurusan Teknologi Informasi. Ya, bisa dibilang laptop adalah kekasihku. Aku punya sebuah keinginan di dunia ini, yang mungkin tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Keinginan itu adalah bertemu seorang putri raja yang begitu luar biasa cantik, dikenal di masa ini sebagai Putri Nyale.

            Sebentar, aku belum selesai menjelaskan. Putri Nyale yang aku maksud ini versi manusianya, bukan versi cacing, ya. Oke, mungkin sebagian dari kalian belum tahu kalau di Lombok itu punya sebuah budaya yang unik. Yaitu tidak lain adalah menangkap Nyale (cacing) di setiap bulan Februari ketikacahaya bulan sepenuhnya terlihat. Kita biasa menyebutnya bulan purnama.

            Nyale atau cacing yang ditangkap masyarakat Lombok bukan sekadar cacing, tetapi cacing jelmaan Putri Nyale yang begitu cantik dan memesona semasa hidupnya.

            Putri Nyale dikisahkan sebagaianak seorang raja. Dia terkenal sangat cantik hingga puluhan pangeran di jagat Lombok ingin mempersuntingnya. Akan tetapi, karena Putri Nyale atau Putri Mandalika tidak ingin melihat perpecahan antara kerajaan, maka dia bersumpah kepada dirinya sendiri serta meminta kepada Tuhan untuk dijadikan sebagai sesuatu yang bisa dinikmati semua orang. Putri Nyale akhirnya melompat dari tebing ke lautan sehingga dipercaya kini menjelma menjadi cacing panjang berwarna-warni yang bisa dinikmati semua orang serta memiliki banyak sekali manfaat. Itu hanya sejarah singkat tentang Putri Nyale atau Mandalika yang kutahu.

            Semenjak kecil, aku sangat ingin bertemu sang putri, sebab penasaran dengan cantik dan keanggunannya yang diceritakan dalam legenda Sasak.

            Ada suatu peristiwa yang ingin kuceritakan lebih dulu pada kalian. Setiap acara Bau Nyale atau tangkap Nyale diadakan, aku selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halamanku dan mengikuti acara yang diadakan setahun sekali. Akan tetapi, setiap kali menghadiri acaranya, aku selalu melihat bayangan aneh di pantai Kuta. Ketika orang-orang tengah sibuk menangkap dan mengumpulkan Nyale di sebuah wadah, aku malah penasaran dengan bayangan yang selalu aku lihat ini. Aku merasa kalau sosok Putri Nyale itu tengah mengawasi kami. Ya, tentu saja semua orang khususnya masyarakat Lombok mempercayai legenda Putri Nyale itu benar adanya. Bahkan itu tertulis di sebuah buku kuno, diceritakan panjang lebar tentang kehidupan sang putri.

            Terakhir kali aku merasakan keberadaan makhluk asing di acara itu adalah tahun lalu. Karena penasaran, aku selalu menjauh dari keramaian serta mencoba menangkap sosok itu dengan mata telanjang.

            Namun, usaha itu sia-sia tanpa hasil. Aku tetap tak bisa melihatnya. Bahkan, kerap kali aku bermimpi tentangnya, tetapi aneh, di dalam mimpi itu aku tidak begitu melihat dengan jelas bagaimana wajahnya. Yang jelas, pakaian yang dia kenakan mirip dayang-dayang atau legenda-legenda bidadari yang aku tonton di film-film.

            Nah, di tahun ini, aku berencana untuk mengulangi aktivitas itu. Rasa penasaran di benakku sudah tidak bisa terbendung lagi. Bersama Andi—temanku di kampus—aku membuat janji mengikuti acara Bau Nyale yang beberapa hari lagi akan berlangsung di Pantai Kuta, Lombok Tengah.

            -ooOoo-

            “Gimana persiapannya, Ndi? Udah beres?” tanyaku pada Andi yang baru saja selesai mengemas barang dan makanan ke dalam tas.

            “Udah siap, Bos. Berangkat kapan?”

            “Sekarang ajalah. Nanti sampai sana sebelum mulai, kan, bisa santai-santai dulu,” ucapku.

            “Oke.”

            Akhirnya, pada pukul delapan malam, kami berdua berangkat dari Mataram menuju Pantai Kuta yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah.

            Di acara Bau Nyale, ada satu hal yang disayangkan karena perkembangan zaman ini, yaitu muda-mudi yang berpacaran di lokasi serta orang-orang yang tidak peduli dengan kebersihan, membuang sampah secara sembarangan. Aku pikir hal seperti itu sebenarnya tidak pantas, karena kita harus menjunjung tinggi serta melestarikan budaya kita dengan penuh ketulusan.

            Memang ramai ketika acara berlangsung, tetapi kebanyakan tidak ikut serta Bau Nyale. Mereka hanya senang datang, kemudian duduk berduaan di tempat sepi. Inilah yang merusak generasi di zaman sekarang ini. Apalagi orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan kebersihan, membuang sampah sembarangan di area akan menyebabkan terkontaminasinya ekosistem di pantai tersebut.

            Oke, ini bukan berarti aku iri dengan mereka yang punya kekasih sedangkan aku seorang jomlo yang bertahun-tahun tidak pernah merasakan bagaimana menjalin sebuah hubungan percintaan. Aku peduli dengan adat dan budaya kita khususnya di Indonesia ini. Jika bukan kita generasi di zaman ini, lalu siapa lagi?

-ooOoo-

            Dua jam mengendarai sepeda motor, kami tiba di Pantai Kuta. Di lokasi sudah banyak orang yang datang dan menangkap Nyale. Nah, sebenarnya aku mengikuti acara ini bukan hanya untuk menangkap Nyale yang lalu dimasak dan diolah menjadi makanan lezat. Atau menangkap Nyale untuk dimakan mentah-mentah. Aku juga datang untuk mengungkap siapa bayangan yang sering aku lihat di pantai ini. Aku sudah cukup mempelajari bagaimana untuk bisa melihat dengan jelas makhluk tak kasat mata. Aku juga sudah berkonsultasi ke banyak orang, khususnya pemuka-pemuka adat di berbagai desa yang tidak asing dengan dunia makhluk gaib.

            Setelah memarkirkan sepeda motor di tempat yang sudah disediakan, aku dan Andi melangkah menuju bibir pantai. Nyale sudah banyak sekali terlihat. Ada yang berwarna hijau, ada yang berwarna kuning, merah, dan sebagainya. Juga ada orang-orang yang langsung makan secara mentah dan ada yang mengumpulkannya pada satu wadah untuk dibawa pulang.

            “Andi. Kamu sana gabung sama emak-emak nangkap Nyalenya. Nanti aku nyusul.”

            “Mau ke mana, sih, kamu? Masa mau ninggalin aku sendiri?”

            “Yah, kan nggak sendiri. Tuh, banyak orang. Emak-emak itu banyak.”

            “Ya, sudah. Tapi, serius nanti cari aku di sini.”

            “Iya, oke. Aku cari kamu, kok. Lagi pula, acara resminya ‘kan dimulai pas subuh.”

            “Sip.”

            Sementara Andi ke lokasi penangkapan Nyale, aku menuju arah barat, tepatnya di tempat yang tidak terlalu ramai untuk sekadar memantau. Aku mengempaskan pantat, duduk beberapa meter dari jangkauan ombak yang menerpa pelan. Dalam hati, aku selalu memokuskan diri untuk bisa bertemu atau paling tidak melihat sosok yang selama ini mengawasi kami, yang aku pikir adalah Putri Mandalika.

            Beberapa menit berlalu, belum ada yang terasa. Suasana seperti kerap kali aku rasakan saat ada di acara ini belum terasa. Namun, aku masih kuat menanti sampai acara usai.

            Angin kurasakan setiap menit bertambah kencang menyibak tirai-tirai beku. Malam semakin larut, sunyi, beberapa orang sudah mulai pulang meninggalkan lokasi Bau Nyale.

            Ada yang aneh dengan pemandangan di sekitarku. Awalnya aku melihat orang-orang antusias menangkap Nyale, tetapi kini aku hanya melihat ombak yang menggulung, angin yang mendesau, dan Andi yang telah ... hilang.

            Aku pun sadar, beranjak bangun dari duduk. Menatap sekeliling dengan heran. Ke mana orang-orang pergi? Di mana Andi? Dan ada di mana aku sekarang?

            Memang benar, aku tak lagi ada di pantai, aku kini ada di sebuah tebing tinggi yang di bawahnya curam, laut lepas yang membentang. Jika aku jatuh, aku mungkin tidak akan pernah selamat, dalam hal ini adalah mati.

            Dadaku menggebu, berontak dalam sepi. Mataku membulat, napasku menderu desau melawan angin yang kian kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku ingin bertanya dengan lantang, tetapi siapa yang bisa aku tanyai? Di sini sepi, gelap, dan dingin.

            “Hei!” Aku berteriak sekencang mungkin sambil memutar-mutar badanku ke sana kemari, mataku mengedar ke seluruh penjuru, tetapi tidak dapat mengenali tempatku berada.

            Berulang kali, aku memekik lantang. Sunyi pecah, menggema suaraku kembali terdengar di telinga sendiri. Tidak ada jalan lain, aku melangkah tak tentu arah, menjauhi curam di depan mata. Sekelilingku hanya tanah luas yang gersang. Tidak ada rumah-rumah warga yang tampak, pohon-pohon pun tidak terlihat.

            Tidak dimungkiri, aku takut, bahkan gemetar tubuh ini menahan setiap rasa yang hadir menikam angan. “Tolong, siapa aja,” kataku dengan lirih, “Di mana aku?”

            Entah sudah berapa lama berjalan, aku menemukan sebuah bangunan yang begitu khas arsitektur suku Sasak Lombok. Akan tetapi, bangunan itu sangat megah, yang mana di bagian depan ada gerbang besar, tinggi menjulang dan dijaga dua orang mengenakan pakaian adat Lombok. Serta mereka membawa tombak yang sama tinggi dengan tubuh mereka di tangan kanan, lalu sebuah perisai berwarna merah berbentuk lingkaran di tangan kiri.

            Aku ragu untuk melanjutkan langkah, tetapi aku tidak mungkin kembali. Jika kembali, siapa yang bisa membantuku? Ya, orang-orang di bangunan itulah yang menjadi satu-satunya harapan. Aku punmenjejak, serta menyapa kedua penjaga yang mengenakan ikat kepala bercorak bunga-bunga berwarna cokelat.

            “Pak, maaf, saya boleh bertanya?”

            “Siapa Anda?” tanya kedua penjaga dengan waspada. Sebenarnya, mereka berbicara dengan bahasa Sasak halus yang sebelumnya tidak kumengerti, tetapi mengapa di sini aku paham dengan yang mereka katakan? Ini benar-benar aneh.

            “S-saya, Zahroni. Saya mau minta bantuan, Pak.”

            Kedua penjaga saling tatap, penjaga di sebelah kanan mengedipkan mata, mungkin sebuah sinyal untuk melakukan sesuatu.

            “Anda kami tangkap!” ujar keduanya sambil menyilangkan tombak di hadapanku.

            “Apa? S-saya ditangkap?! Ada apa ini?! Kalian siapa? Saya di mana sebenarnya?!” cecarku bervolume tinggi.

            Namun, kedua penjaga tidak memedulikanku, mereka meringkus dan membawaku ke dalam bangunan yang lebih tepat jika kita sebut sebagai istana.

            Masuk ke sebuah ruangan, ada seorang pria dengan ikat kepala berwarna putih, terselip sebuah keris di pinggangnya, kemudian berkumis hitam yang cukup tebal. Ia menatapku dengan lamat. Berdiri dari singgasananya.

            “Ananda siapa?” tanya pria paruh baya itu dengan baritonnya sambil mondar-mandir, menyilangkan tangan di belakang punggung.

            “S-saya di mana ini? Saya di mana? Apa yang terjadi?” Hanya itu pertanyaan yang aku lontarkan, tidak peduli apa pun pertanyaannya.

            “Ananda ada di kerajaan hamba.”

            “Kerajaan? Kerajaan di mana?” tanyaku dengan nada gemetar.

            “Kerajaan Mandalika.”

            Akhirnya, semua jelas sudah. Aku tahu alasan apa yang membawaku ke tempat ini. Aku tahu keinginan apa yang membuatku sampai di tempat ini tanpa pernah kusadari.

            “Kera ... jaan Mandalika? P-Putri Nyale?”

            “Putri Nyale? Siapa itu Putri Nyale, Ananda? Dan kalau boleh tahu, Ananda utusan siapa?” tanya pria itu terheran-heran.

            “Saya ... saya bukan utusan siapa-siapa. Saya di sini tersesat. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba ada di sini,” jelasku langsung.

            “Pantas saja. Ananda pasti kebingungan. Tampaknya memang begitu, Ananda terlihat seperti bukan orang kami, atau orang dari kerajaan ini.”

            “Tolong, tolong saya untuk kembali ke dunia asal saya,” ucapku memohon sambil menyatukan kedua tangan.

            “Dunia Ananda? Hamba tidak mengerti maksud Ananda bicara seperti itu. Dan Putri Nyale yang Ananda maksud itu siapa? Tolong, jelaskan kepada hamba.”

            Aku tahu mungkin sekarang aku ada di dunia tempat Putri Mandalika berada sebelum ia benar-benar berubah menjadi cacing atau Nyale.

            “Ayahanda? Dia siapa?” tanya seorang gadis yang begitu cantik dan anggun dengan hanya mengenakan sebuah bawahan sekaligus menjadi atasannya, berwarna hijau, serta selendang yang menghiasi lehernya. Amat sangat memesona.

            Aku tahu, dialah Putri Mandalika yang sering aku inginkan bertemu. Ya, dialah putri yang terkenal dalam legenda Sasak.

            “Putri ... Nyale,” ucapku lirih tanpa sadar.

            “Apa? Ananda menyebut putri hamba dengan sebutan Putri Nyale?” Sang raja semakin heran. “Oh, putriku. Dia adalah anak yang tersesat. Ayahanda mencoba mencari informasi padanya.”

            “Tapi, Ayahanda, kenapa dia menyebutku dengan sebutan Putri Nyale?” Sang putri melangkah mendekati sang ayah.

            Mataku masih tak mampu berpaling dari cantiknya dia. Ternyata benar selama ini Putri Mandalika digambarkan sebagai sesosok perempuan baik hati yang begitu cantik. Pantas saja semua orang menginginkan dia sebagai istri mereka.

            “Maaf, Putri Nyale adalah sebutan Putri Mandalika di duniaku.” Aku pun memutuskan bercerita yang sebenarnya.

            “Sebutan putri hamba di dunia Ananda? Memangnya Ananda asal mana?” Sang Raja masih bingung dengan ucapanku.

            Oke, aku tahu semuanya belum mengerti dengan apa yang aku sampaikan. Jika aku ada di masa lampau—saat-saat Putri Nyale—belum berubah menjadi cacing Nyale, kalau aku menceritakan semuanya, aku akan dianggap sebagai orang sakti yang bisa melihat masa depan.

            “Iya, benar. Putri akan menjelma menjadi cacing yang bisa dinikmati semua orang.”

            “Maaf, Ananda sudah lancang berbicara seperti itu!” Tiba-tiba sang raja tampak tidak menerima apa yang aku katakan. “Pengawal! Bawa dia ke penjara. Kurung dia!” titah sang raja, sehingga kedua pengawal menyeretku dengan paksa.

            “Tidak! Tolong, dengarkan dulu penjelasan saya!” Aku jelas berontak, tidak mau dipenjara, atau bahkan mungkin akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan dari sekadar dikurung. Aku tahu bahwa hukuman-hukuman di zaman kerajaan ini begitu mengerikan.

            “Ayahanda. Kenapa dia dibawa ke penjara?”

            Aku masih mendengar sang putri kebingungan, bertanya kepada ayahnya.

            Setelah menuruni sebuah tangga ke penjara, aku tidak bisa lagi mendengar pembicaraan sang putri dengan ayahnya.

-ooOoo-

            Tidak tahu diriku berapa lama waktu sudah berlalu. Yang pasti, aku tidak pernah bisa tidur berada di penjara ini. Dingin dan lembab, tak ada selimut yang disediakan. Makanan pun tidak pernah disajikan untukku. Aku berharap putri bisa menemuiku, dan membebaskan, mencari cara untuk bisa kembali ke duniaku.

            Aku terkantuk-kantuk sambil meringkuk, tetapi mata tak dapat terpejam. Aku yakin mataku sudah berkantung. Tak lama kemudian, aku mendengar derap langkah menuju ke penjara ini.

            Dengan sayu, aku menatap jeruji besi. Di baliknya ada sang putri yang amat cantik, berlesung pipit, putih, dengan membawa sebuah nampan berisi piring kayu dan gelas yang terbuat dari kayu pula.

            “Namamu Zahroni, kan?” katanya seraya menjongkok, membuka jeruji dan masuk menemuiku. Ia letakkan nampan di depanku. “Kau harus makan.”

            “Putri ....” Aku berlirih, tetapi senang karena bisa melihat sang putri dengan jelas, tepat di hadapanku.

            “Kau tampaknya tidak pernah tidur. Kau makanlah dulu, dan istirahat kemudian,” ucapnya dengan senyum yang begitu manis tanpa bisa lagi kudeskripsikan.

            Sang putri segera beranjak, tetapi langsung kuhentikan. “Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu, Putri.”

            Putri membalik badannya, kembali duduk di depanku. “Memangnya kau mengenalku?”

            “Aku sangat mengenalmu, Putri. Bahkan, aku sudah mempelajari tentang sejarahmu di duniaku.”

            “Apakah ada hubungannya dengan perkataanmu bahwa aku akan menjelma sebagai Putri Nyale?”

            “Iya, Putri. Akan ada tiga pria dari kerajaan berbeda melamarmu. Aku tahu Putri tidak akan bisa memilih salah satu dari mereka. Takdir Putri sudah digariskan Tuhan. Putri rela berkorban, memohon kepada Tuhan untuk menjadi sesuatu yang bisa dinikmati semua orang,” jelasku padanya.

            “Tapi, kenapa kau sangat ingin bertemu denganku, padahal di duniamu aku sudah tidak ada?”

            “Putri selalu ada. Kita selalu bisa bertemu setiap tahun, tetapi putri hanya menjelma sebagai cacing. Aku ingin sekali bertemu dirimu sebagai manusia biasa. Aku rasa, aku sudah jatuh cinta denganmu, Putri.”

            Sang putri tertawa pelan. Suaranya begitu anggun terdengar. Ya, tidak pernah aku bertemu gadis secantik dirinya di dunia nyata. Jika saja aku bisa membawanya ke duniaku, kemudian akan kujadikan dia sebagai istri di dunia nyata. Pasti semua orang iri denganku, semua orang akan berusaha merebut dia dariku.

            “Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu, Putri. Meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya kembali ke duniaku yang sebenarnya.”

            “Aku pikir kau menyenangkan orangnya. Kalau begitu, kau istirahat saja. Aku akan meminta ayahanda untuk membebaskanmu esok hari. Kau bisa ikut denganku besok. Akan kutunjukkan segala hal yang ada di sini padamu, yang mungkin tidak ada di duniamu.”

            Aku senang. Akhirnya, aku bisa makan bubur yang dibuat putri, dan tidur setelahnya.

-ooOoo-

            Esoknya, putri menepati janjinya. Ayahandanya juga setuju aku dibebaskan karena terbukti tidak berbahaya.Yah, pada dasarnya aku juga bukan orang sakti yang punya kekuatan atau ilmu bela diri di zaman kerajaan seperti saat ini. Tidak kalah senang diriku karena putri mengajarkan segala hal tentang kerajaan di sini. Mengenalkanku pada putri-putri cantik lain yang merupakan temannya. Mengajakku ke sebuah sungai, bermain dengan banyak satwa yang mencintai putri.

            Ternyata, begini kehidupannya. Kehidupan yang tidak pernah diketahui orang lain, yang juga tidak pernah ditulis dalam legenda. Selain cantik, dia memang putri yang baik dan murah senyum.

            “Aku tidak pernah mengenal lelaki selain dikau, Zahroni. Ya, selama hidup, aku hanya berada di kerajaan bersama Ayah. Atau kadang hanya bermain bersama teman-teman gadisku,” tutur putri sambil memainkan air sungai yang begitu jernih.

            “Aku juga. Aku tidak pernah mengenal seorang gadis yang begitu baik dan cantik sepertimu, Putri. Itulah kenapa aku sangat ingin bertemu denganmu di duniaku. Salah satu alasan tidak hanya itu, stok perempuan sepertimu di duniaku perlahan sudah berkurang.”

            Sang putri cekikikan, ia lalu menjuntai kakinya sambil duduk di atas sebuah batu besar sungai ini. Berhadapan denganku. Ia menatap lamat bola mataku.

            Aku benar-benar tidak tahan ia memandangku dengan teduh sambil sesekali memancarkan senyuman.Hidungnya yang lancip, rambutnya yang panjang tergerai lurus, bola matanya yang hitam dan bulat, serta kulitnya yang putih bersih. Aku rasa, aku menginginkan dirinya menyentuhku walau hanya sejenak.

            “Andai saja putri bisa kubawa ke duniaku.”

            “Kalau bisa, apa yang akan kau lakukan padaku?”

            “Menikah. Aku akan menikahimu, Putri. Semua orang pasti akan iri padaku dan berusaha merebutmu dariku.” Aku tertawa pelan membayangkan itu bisa terjadi.

            “Kau begitu lucu, Zahroni. Mengapa ada lelaki sebaik dirimu tersesat di duniaku?”

            “Aku tidak tahu, Putri. Tuhan mungkin menjawab doaku yang ingin bertemu denganmu. Mungkin kedengaran konyol jika berbicara soal berdoa untuk bertemu denganmu di duniaku. Tapi di dunia ini, aku yakin ini nyata. Bukankah begitu, Putri?”

            Putri manggut-manggut. “Mungkin. Tetapi, kau tahu, kan, kalau aku akan menghilang selamanya? Kalau itu benar-benar terjadi, mari kita bertemu lagi saat aku sudah menjelma sebagaicacing Nyale.”

            “Putri, sebelum semua ini benar-benar berakhir, bolehkah untuk yang terakhir kalinya, aku ingin merasakan bagaimana rasanya memelukmu. Kalau tidak boleh—“

            “Boleh, Zahroni. Silakan, peluk aku.”

            Aku tak percaya ini bisa terjadi di hidupku. Apakah aku berada di dunia khayal? Kalau iya, biarkan saja. Aku ingin tetap ada di sini, meninggalkan kehidupan nyataku.

            Dengan perasaan berdebar, aku melangkah ke tempat di mana putri duduk. Ia di sana, masih tersenyum, kini memejamkan kedua matanya. Aku pun memeluknya dengan mesra. Memeluk tubuh yang putih dan lembut. Kecantikannya yang alami, begitu meresap di ingatanku. Napasku menderu hebat, tetapi sedih kini datang. Mengapa? Aku menumpahkan air mata yang cukup banyak tanpa bisa kuhentikan.

            “Semoga kita bisa bertemu kembali, Zahroni.”

            Hanya itu yang mampu kudengar untuk terakhir kalinya. Dalam beberapa menit, tubuh hangatnya tidak lagi dapat kurasakan menyentuh tubuhku. Ketika mata kubuka, banyak orang yang kulihat berwajah khawatir, tidak terkecuali Andi.

            Aku menemukan diriku basah kuyup, dikerumuni orang-orang.

            “Aku ... kenapa?”

            “Zahroni! Kamu sudah sadar?” Andi yang panik, menatapku heran, tetapi lega.

            “Aku kenapa, Ndi?” tanyaku, masih tak mampu bangkit dari posisi berbaring.

            “Kamu tadi tenggelam di laut, Ron. Kamu terseret ombak cukup jauh, kita semua panik. Untung kita dengar kamu meminta tolong. Jadi, kamu diselamatkan tim penjaga pantai dan warga yang ada di sini,” jelas Andi.

            Jadi, begitu. Semuanya kini jelas, siapa yang membawaku bertemu Putri Nyale. Ya, dialah yang membawaku menuju dirinya. Dia—sang putri itu sendiri. Ingatan masih jelas di kepala, rasanya tubuhku masih jelas merasa, aromanya masih lamat di bulu-bulu hidungku. Menempel, terasa, teringat, serta terkenang. Dialah yang selama ini mengawasi diriku selama ikut dalam acara Bau Nyale. Dia tahu apa yang aku inginkan. Dia tahu kalau aku selalu ingin bertemu dengannya. Penasaran, serta ingin melihat dengan jelas bagaimana cantik dirinya.Namun, tak hanya kecantikan yang aku harapkan, melainkan kebaikan dan kelembutan hatinya. Itulah sosok Putri Nyale yang sebenarnya.

            Aku sudah bertemu Putri Nyale.

            Terima kasih, Putri.

--ooOoo--

Biodata Narasi:

Momoy, penulis buku Bintang Tak Lagi Menanti Senja, Paradoks Waktu, Last Affection, DÉJÀ VU: Unforgettable Moments dan masih banyak karyanya yang telah terbit dalam bentuk digital di berbagai platform dan google playbook. Sekarang bekerja sebagai Ghost Writer dan mengembangkan sebuah perusahaan penerbitan mandiri.

Untuk mengenal penulis lebih dekat, Anda bisa menghubunginya melalui:

Facebook        : Momoy

Instagram       : @momoy_official_

            Wattpad          : @mariondrossi



Demikianlah Artikel Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy

Sekianlah artikel Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Cerpen Bertemu Putri Nyale Karya Momoy dengan alamat link Sapiens
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
cerpen,sastra