Judul : Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang
link : Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang
Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang
Original pic by akevikun deviantart
Nihay Ridani
"Duh Gusti! Malu setengah mati aku, bisa-bisanya anak Pak Kades menyatakan cintanya di tengah kerumunan pasar," aduku pada Kinanti, gadis tambun sahabatku sedari dulu.
"La kenapa ndak kamu terima saja, Ro? Dia itu kan anak keluarga terpandang. Nanti hidupmu bahagia." Tangan Kinanti sibuk mengucek pakaian kotornya.
Mataku menerawang ke arah air terjun yang mengalir lumayan deras. Semalam hujan turun cukup lebat, bahkan gerimis tak kunjung berhenti hingga pagi ini.
"Ngawur kamu, Nan! Mana sudi aku kawin sama laki-laki setengah jadi. Ih amit-amit jabang bayi." Kuletakkan pakaian terakhirku ke ember.
Tertawa lepas Kinanti mendengarnya. "Siapa tau dia memang jodohmu Rondiyah sayang."
Aku mendelik tak terima dia menyebut nama asliku, "Roro, Nan, jenengku Roro!" (Roro nan, namaku Roro!)
"Aku itu Cantik dan seksi seperti Roro Jonggrang, bukan Rondiyah," belaku.
Kucipratkan sedikit air sungai ke Kinanti. Rasain. Biar basah kuyup dan menggigil, siapa suruh sebut-sebut namaku yang kampungan itu.
Tak terima, ia membalas dengan menuangkan seember air padaku. Kurang ajar!
Lama kita bermain air, beberapa penduduk lain sudah beranjak pergi. Sungai ini memang satu-satunya sumber mata air desa kami. Mandi, cuci baju, keperluan memasak semuanya kita peroleh dari sini. Meski banyak rumor beredar sungai ini didiami buaya. Tapi selama tujuh belas tahun menetap tak pernah sekalipun aku ketemu buaya tersebut.
Meskipun begitu, sesepuh desa percaya betul kalau di sini memang ada buaya. Konon, setiap malam Selasa Kliwon ia akan muncul ke permukaan. Itu sebabnya penduduk tidak diperbolehkan mampir ke sungai saat malam hari.
Kalau benar begitu, semoga saja Dani anaknya Pak Kades yang terus-menerus mengejarku itu kejebur di sungai dan ditelan bulat-bulat sama buaya. Bukannya berniat jahat, aku kesal karena sering kali dibuat malu sama dia.
Dani memang orang terpandang, pintar karena bisa kuliah di universitas ternama di Surabaya, entah universitas itu apa yang pasti dia hebat, juga kaya dan disegani. Tetapi perutnya buncit, pendek, jerawatan, belum lagi dandanannya norak, ditambah sifatnya yang lemah lembut ngalahin perempuan. Aduh! jatuh harga diriku kalau dilamar sama dia. Meskipun orang ndeso tapi seleraku tidak begitu, aku maunya Zainal teman Dani yang beberapa minggu ini nginep di rumahnya. Tinggi, mancung, kulitnya kuning resik, suaranya tegas berwibawa dan yang paling aku suka adalah kumis tipisnya. Mas Zainal dedek malu tapi mau....
Dingin-dingin begini, gimana rasanya ya kalau--"Kamu kenapa senyum-senyum, Ro?"
Buyar imajinasiku mendengar suara cempreng Kinanti.
"Hayooo ngaku, pasti mikirin Dani ya?" ejeknya.
"Sontoloyo! Sudah Nan, mending kita pulang. Sudah siang nanti Simbok marah."
Berjalan pulang melewati jalan setapak becek yang menjadi pembatas antar sawah warga, aku dan Kinanti masih sibuk membicarakan apa saja yang menarik. Mulai dari buaya penunggu kali, mantan pacar Kinanti yang buaya darat, sampai buayang-buayang Mas Zainal dengan kumis tipisnya. Ealah, maaf ini cuma curhatan author.
***
Kudorong pelan pintu rumah,
"Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam...."
Mataku melotot, terkejut melihat sosok pemuda yang belakangan ini aku bayangkan sebelum tidur, tengah duduk bersama Bapak dan Simbok.
"M-mas Zainal?" sapaku.
"Kinan, oh my God kenapa basah-basahan? Nanti kamu demam, ihh kalau sakit kan aku jadi sedihh." Itu suara dedemit, yang duduk di samping Zainal seraya menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Kedua tangannya diletakkan gemulai di atas paha. Manisnya. Jadi mual perutku.
Buru-buru aku masuk kedalam mengabaikan celoteh Dani.
Setelah mengenakan kebaya hijau dan merapikan rambutku, aku membantu Simbok yang sibuk di dapur merebus teh untuk tamunya, maksudku tamuku.
"Mereka mau apa Mbok?"
Perlahan aku mengupas kulit mangga yang sudah Simbok siapkan.
"Ngelamar kamu, Nduk," balasnya.
"Eeh ternyata Mas Zainal juga punya perasaan sama aku to."
"Dani Nduk, bukan Zainal!"
Kaget, tanpa sengaja ujung jari telunjukku terpotong. Sakit tapi tidak seberapa dibanding hatiku. Aku tahu aku tidak diberi pilihan menolak. Sawah yang digarap Bapak selama ini adalah milik Pak Kades, setiap panen bagi hasil dan itu adalah satu-satunya sumber mata pencaharian kami. Kalau aku tolak si Dani, Bapak dan Simbok bisa mati kelaparan. Amit-amit jangan sampai.
Kuletakkan nampan di meja. Kemudian Simbol keluar membawa nampan lain berisi beberapa buah jeruk.
"Sini Nduk, Bapak mau ngomong." Aku nurut, aku duduk di satu-satunya kursi panjang yang tersisa di samping Bapak, kemudian di sampingku, Simbok ikut duduk.
"Jadi, nanti malam Pak Kades dan Bu Kades akan kesini, bermaksud melamar Roro untuk Dani." Zainal menjelaskan dengan suaranya yang memabukkan.
'Kenapa bukan kamu saja yang ngelamar, Mas?' batinku.
"Gimana Ro?" tanya Bapak .
"Roro sih nurut saja Pak," lirihku. Sungguh mulutku berat sekali saat mengucapkannya.
***
Perlahan aku menuangkan sup ke mangkuk Bu Kades. Ia menerimanya dan mencicipi perlahan, maklum masih panas.
"Ini kamu yang masak, Nduk?" Aku mengangguk.
"Uenak tenan, kamu memang pinter. Dani nggak salah pilih ya Pak." Disesapnya lagi sendok berisi sup daging hangat yang kumasak beberapa menit lalu.
"Iya Bu, Bapak belum pernah makan sup seenak ini. Nanti setelah menikah kamu harus sering-sering masak ini buat kita, Nduk Roro." Pak Kades berpendapat.
Aku hanya tersenyum semanis mungkin mendengarnya. Syukurlah mereka suka.
Mereka datang kerumahsetelah Isya. Basa-basi sebentar sama Bapak sampai akhirnya menyampaikan maksud untuk melamarku, jawaban Bapak sederhana : diserahkan semua padaku, katanya. Dan mau tidak mau aku harus menerima.
Setelah mengatakan ya, aku beranjak ke dapur memasak sup daging. Makanan yang pantas disajikan untuk Bapak dan Ibu Dani.
Susah payah aku memasaknya agar tidak amis dan terasa pas di lidah, aku senang bukan kepalang saat mereka mengatakan masalahku lezat. Syukurlah.
***
Pagi-pagi buta, satu kampung dihebohkan dengan mayat yang ditemukan di tepi sungai. Semua orang lari, terburu-buru, berkumpul karena penasaran melihatnya. Dani mati, dimakan buaya penunggu. Kata Bapak-yang baru saja pulang dari sungai untuk memberi kabar Simbok, kondisi mayat Dani sangat mengerikan. Badannya tercabik-cabik, anggota tubuh juga tidak lengkap. Bu Kades sampai pingsan, tak kuat melihatnya. Pun Pak Kades yang merosot jatuh terduduk di tepian sungai. Zainal juga tampak terpukul temannya mati mengenaskan.
Sementara aku masih di rumah, mencuci pisau dengan noda darah yang mulai mengering. Semalam tidak sempat kubersihkan, karena aku terlalu senang.
Tapi aku heran, kenapa Pak Kades dan istrinya sampai sesedih itu? Bukankah kata mereka daging Dani lezat?
Demikianlah Artikel Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang
Sekianlah artikel Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cerpen Creepy Kisah Sadis Roro Jonggrang dengan alamat link Sapiens